masukkan script iklan disini
Foto : Hasil Perolehan Suara Pilkada Banyumas
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tingkat provinsi maupun kabupaten, seperti yang terjadi di Jawa Tengah dan Banyumas, kembali menggambarkan realitas politik Indonesia yang masih didominasi oleh dua fenomena klasik: politik pencitraan dan politik transaksional. Hal ini mencerminkan tantangan besar dalam mewujudkan demokrasi yang berkualitas.
Politik Pencitraan di Jawa Tengah
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah memperlihatkan bahwa kekuatan pencitraan di kalangan kelas menengah cukup signifikan. Pasangan Andika Perkasa dan Hendrar Prihadi mendapatkan respons positif dari kelompok ini. Namun, keterbatasan mereka dalam menjangkau masyarakat kelas bawah menjadi hambatan besar dalam mengamankan suara mayoritas. Strategi pencitraan mereka yang cenderung modern dan berbasis media sosial tidak cukup menjangkau akar rumput, yang masih lebih responsif terhadap pendekatan langsung atau bantuan konkret.
Sebaliknya, pasangan Ahmad Luthfi dan Taj Yasin, meskipun sempat tertinggal dalam survei, akhirnya memenangkan pertarungan. Keberhasilan ini sebagian besar didukung oleh kekuatan "amunisi" mereka, baik dalam bentuk sumber daya finansial maupun kemampuan mobilisasi jaringan untuk merangkul masyarakat kelas bawah. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa politik transaksional masih menjadi senjata utama dalam memenangkan hati rakyat di lapangan.
Pemilihan Bupati Banyumas dan Rendahnya Partisipasi
Di Banyumas, dinamika politik menunjukkan sisi lain dari demokrasi yang memprihatinkan. Pemilihan Bupati yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon, Sadewo Trilastiono dan Dwi Asih Lintarti, menunjukkan rendahnya tingkat partisipasi dan antusiasme masyarakat. Pasangan ini memang menang secara resmi, tetapi suara golput dan kotak kosong menunjukkan bahwa legitimasi politik mereka masih lemah. Jika suara golput dihitung sebagai indikator ketidakpercayaan, kemenangan mereka bahkan di bawah 50 persen.
Hal ini menegaskan bahwa masyarakat semakin skeptis terhadap proses demokrasi, terutama ketika pilihan dianggap terbatas dan tidak mencerminkan aspirasi rakyat.
Tantangan Demokrasi yang Berkualitas
Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih jauh dari ideal. Politik transaksional terus mendominasi, dengan uang dan bantuan instan menjadi alat utama dalam meraih suara. Di sisi lain, politik pencitraan, meskipun memiliki daya tarik di kalangan tertentu, seringkali gagal membawa dampak nyata bagi mayoritas masyarakat.
Kita masih menghadapi tantangan besar untuk mencapai demokrasi yang benar-benar mewakili rakyat. Demokrasi yang berasal dari, oleh, dan untuk rakyat seharusnya tidak hanya menjadi slogan. Dalam kondisi di mana elit politik masih memegang kendali dan kesejahteraan rakyat belum menjadi fokus utama, impian demokrasi sejati masih terasa jauh.
Perbaikan sistem politik, peningkatan pendidikan politik masyarakat, dan penguatan partisipasi publik adalah langkah mendesak yang perlu dilakukan. Jika tidak, demokrasi Indonesia akan terus berada dalam bayang-bayang pencitraan semu dan politik transaksional yang merugikan rakyat.